Dikatakannya, bisnis optik cukup menjanjikan karena pemilik bisa mendapat penghasilan dari pasien yang memeriksa sekaligus menggantikan kacamata (minus atau plus). Kemudian, optik juga menerima resep dari dokter dan bekerja sama dengam Askes.
"Ya, hasilnya lumayan. Itulah salah satu bedanya dengan toko kacamata kecil lainnya," kata Fahrizal.
Dia menjelaskan, dalam mengelola bisnis optik tidak harus dari lulusan sekolah khusus optik. Mereka berpendidikan umum pun bisa. "Seperti di sini, aku sudah tujuh tahun bekerja. Pemiliknya, Norhayati seorang swasta, bukan dokter mata atau spesialis lainnya. Dia hanya swasta, yang penting pendirian optik itu harus ada RO-nya Mas," kata Fahrizal, seraya menjelaskan bahwa RO adalah ahli di bidang optik, atau mirip apoteker jika di apotek.
Mengenai izin operasional optik di tempatnya tersebut, dia menjelaskan cukup hanya mengurusnya ke Dinkes Kota. "Kalau tidak salah, aku dulu juga diajak si pemilik optik ini mengurusi izinnya ke Dinkes dengan mengisi formulir, juga mencantumkan namaku sebagai penanggung jawab (RO)," kata dia.
Sementara itu, Kepala Dinas Kesehatan Kota, Diah R Prawasti, melalui kabid perizinannya, Kharil Fuad menjelaskan, optik memang tidak sama dengan toko kacamata.
Diterangkannya mengenai pengaturan dan kesemuanya itu dasar hukumnya jelas, yakni Undang-undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, Permenkes RI Nomor : 1424/Menkes/SK/XI/2002, tentang Pedoman Penyelenggaraan Optikal, dan Kepmenkes RI Nomor 544/Menkes/SK/VI/2002 tentang Registrasi dan Izin Kerja Refraksionis Optisiens.
"Kalau optik itu ada pengukurannya, harus ada RO-nya sebagai penanggung jawab, juga menerima resep dokter dan sejenisnya. Kalau toko kacamata tidak mempunyai wewenang itu," tegas Khairil.
Alasan harus ada RO-nya tersebut adalah karena harus ada spesialis yang mengetahui betul tentang perawatan dan hal teknis mengenai optik. "Dan itu ada sekolahnya khusus," kata Fuad.
Adapun mengenai cara memperoleh izin operasionalnya, sebetulnya tidak terlalu sulit. "Pemohon langsung mendatangi Dinkes Kota, lalu mengisi formulir yang telah disediakan tentunya dengan menyertakan beberapa peryaratan, salah satu yang penting adalah harus ada RO-nya," kata Fuad.
Persyaratan lainnya yaitu fotokopi KTP pemohon, KTP RO, surat keterangan berbadan sehat, daftar peralatan optik, fotokopi surat izin usaha perdagangan (SIUP), denah tempat usaha dan masih ada lagi lainnya.
Setelah persyaratan tersebut dipenuhi secara lengkap, maka pemohon tinggal menunggu kedatangan tim dari Dinkes yang melakukan pengecekan ke lapangan.
"Hal itu dilakukan untuk mengecek apakah kelengkapan yang diberikan tersebut sesuai atau tidak," kata Fuad.
Setelah dicek, sambungnya, surat izin operasional tersebut akan diterbitkan sekitar lima hari kerja.
Mengenai biaya, lanjutnya, hal tersebut sudah diatur dalam Perda Kota Banjarmasin nomor 9 tahun 2007 tentang retribusi pelayanan kesehatan dan perizinan di bidang kesehatan.
"Berdasarkan aturan tersebut diketahui kalau retrebusi untuk perizinan operasional optik sebesar Rp 1.000.000 (satu juta)," kata dia.
Jumlah itu, lanjut dia, sebenarnya tidak terlalu besar mengingat masa berlaku perizinannya tersebut adalah lima tahun. "Jadi satu juta itu untuk lima tahun izin, dan itu pun bisa diperpanjang," kata Fuad. (mtb)
Masih Banyak Tak Berizin
Padahal, lanjut dia, itu merupakan salah satu syarat perusahaan optik agar bisa memasarkan kacamata koreksi (kacamata untuk membantu ketajaman penglihatan).
Di lapangan, penjualan kacamata koreksi yang tak berizin tergolong marak. Karenanya, demi pelayanan yang baik kepada masyarakat, Dinkes berusaha melakukan penertiban, dengan cara merangkul mereka agar mau bergabung dengan gabungan usaha optik.
Dari data yang ada, di Banjarmasin diketahui kurang lebih seratus optik yang beroperasi. Namun, yang terdata dan memperoleh izin resmi masih sekitar 33 buah.
Diterangkannya untuk membedakan mana optik dan tidak mudah. "Salah satu yang jelas, perusahaan optik itu wajib memiliki dulu seorang refraksionis optisien (RO) dengan ijazah yang dikeluarkan Akademi Refraksionis Optisien.
Kedudukan RO persis seperti apoteker dalam usaha apotek. Petugas RO berwenang memeriksa kelainan refraksi mata. "Jadi tidak hanya dokter spesialis mata," kata Fuad.
Menurutnya, pemeriksaan refraksi mata yang tidak dilakukan oleh RO dan dokter spesalis mata sangat berisiko terhadap kesehatan mata.
"Melenceng setengah angka saja bisa fatal, apalagi kalau pemakaian kacamata tergolong sering. "Jika ukuran tidak tepat maka yang terjadi, mata tak dapat beradaptasi terhadap kacamata. Itu tentu saja akan merusak mata," ujarnya.
Mengenai maraknya yang tidak berizin itu, selain pengamanan yang masih kurang diperhatikan, juga akibat di Banjarmasin belum ada sekolah khusus khusus refraksionis optisien itu.
"Di Banjarmasin sekolah itu tidak ada, jadi sementara yang ada bekerja di 33 optik itu adalah mereka lulusan dari Jawa," tukas Fuad. (mtb)
Persyaratan Izin Operasional Optik
a. Fotokopi KTP Pemohon
b. Fotokopi KTP RO
c. Surat Keterangan berbadan sehat
d. Surat pernyataan bersedia menjadi penanggung jawab teknis optik
e. Fotokopi ijazah RO penanggung jawab
f. Surat perjanjian antara penanggung jawab RO dan pemilik optik
g. Fotokopi daftar peralatan optik
h. Fotokopi surat izin usaha perdagangan (SIUP)
i. Fotokopi surat keterangan domisili
Sumber: Dinas Kesehatan Kota Banjarmasin
Open your Mind
{ 1 komentar... read them below or add one }
sips......
betul sekali....
kacamata itu termasuk alat kesehatan... jadi pengukuran dan pembuatannya harus dengan standart kesehatan....
Post a Comment