Home » sipil » Militer versus Sipil
Militer versus Sipil
Diposkan oleh Unknown on Friday, June 3, 2011
IRFAN Bachdim mangkir dari pemusatan latihan Program Latihan Pembangunan Karakter Atlet SEA Games 2011 di Pusat Pendidikan Pasukan Khusus, Batujajar, Kabupaten Bandung Barat.
Meski telah kembali bergabung dan menyelesaikan program latihan, namun pemain hasil naturalisasi asal Belanda ini mengakui berada di Batujajar adalah sangat berat.
Sempat terjadi polemik terkait kepergian Irfan selama seminggu, namun pada khirnya dipastikan penyerang klub peserta Liga Primer Indonesia (LPI), Persema Malang ini dipastikan tidak dicoret dari Timnas Indonesia U-23.
Dibanding pemusatan latihan terdahulu, PSSI mengambil pendekatan berbeda. Kali ini Komando Pasukan khusus (Kopasus) digandeng untuk menempa fisik dan mental pemain agar memiliki karakter yang kuat.
Tapi jika pendekatan militer dianggap bisa meningkatkan kedisiplinan, terbukti tidak sepenuhnya benar. Sebagai bukti, Irfan Bachdim bisa tidak mengikuti latihan selama seminggu.
Artinya, bukan pola latihan yang harus disalahkan. Tapi pemain itu sendiri yang harus membangun karakter pribadinya. Ketika pelatih Timnas senior Alfred Riedl memimpin pemusatan latihan, pemain yang mangkir pun ada seperti Oktovianus Maniani dan Boaz Salossa. Padahal, Alfred Riedl tidak melatih ala militer.
Nuansa militer akhir-akhir ini akrab dengan PSSI. Dimulai dengan masuknya nama Kepala Staf TNI Angkatan Darat Jenderal George Toisutta dalam bursa pencalonan ketua umum induk organisasi olahraga sepak bola itu.
Kemudian muncul rumors penggalangan dukungan besar-besaran oleh Toisutta yang berduet dengan pengusaha Arifin Panigoro melalui komando resort militer (korem) dan organisasi massa (ormas) underbow-nya. Meskipun Toisutta membantah melakukan penggalangan.
Geeorge Toisutta-Arifin Panigoro memang terganjal untuk mencalonkan diri jadi ketua dan wakil ketua PSSI pada Kongres yang digelar Jumat (20/5). Namun, mereka yang dinyatakan gugur dalam pencalonan oleh Komite Pemilihan, mengupayakan beberapa langkah resmi salah satunya melalui Mahkamah Arbitrase Olahraga Internasional (CAS).
Sebenarnya, tak ada yang salah jika ada militer di tubuh PSSI. Namun, langkah yang bersangkutan harus sesuai prosedur. PSSI adalah kepanjangan dari FIFA, induk organisasi sepakbola dunia. Statuta FIFA adalah aturan yang wajib ditaati oleh organisasi sepak bola manapun, tak terkecuali PSSI.
Kengototan Toisutta untuk tetap mencalonkan diri jadi ketua umum PSSI menimbulkan persepsi ada 'kepentingan' di balik itu. Kengototan itu mencerminkan prilaku militer yang kaku dan harus mendapat 'sesuatu' yang diiinginkan.
Secara tidak langsung, melalui Toisutta, TNI atau militer terseret lingkaran konflik, kisruh di tubuh organisasi nonmiliter. Pada akhirnya terbentuk dikotomi, calon militer dan calon sipil. Dikotomi ini malah membawa citra buruk bagi militer.
Militerisasi atau cara-cara militer seharusnya tidak ada lagi di dalam organisasi sipil. Kalaupun ada, hanya sebatas figur calon, bukan cara pengelolaan organisasi atau pelatihan timnasnya.
Selepas Nurdin Halid dilengserkan FIFA, begitu sulitkan mencari calon ketua umum PSSI yang benarbenar berkompeten? Dari sekitan ratus jiwa penduduk Indonesia, tidak adakah calon yang benar-benar pantas menduduki posisi itu? Siapa pun yang terpilih, militer atau bukan, beban berat disandangnya untuk mengangkat prestasi sepakbola Indonesia yang tengah terpuruk.
{ 0 komentar... read them below or add one }
Post a Comment