Jenderal Norman Schwarzkopff, pemimpin Sekutu semasa Perang Teluk menunjukkan bahwa seorang pemimpin dalam militer yang memiliki wewenang untuk memaksakan kepatuhan, biasanya adalah seorang motivator yang buruk. Pada prinsipnya, jika kita selalu menggunakan pendekatan kekuasaan untuk memaksa orang lain melakukan sesuatu, maka organisasi kita tidak akan bertahan lama. Jika ada sedikit kesempatan, maka orang-orang dalam organisasi kita akan keluar atau paling tidak kinerja (performance) mereka jauh dari yang kita harapkan. Banyak sekali organisasi atau perusahaan mengalami turnover yang besar karena pegawainya tidak memiliki motivasi yang benar.
Hubungan Motivasi dengan Emosi
Kemampuan seorang pemimpin untuk memotivasi anggota timnya sangat dipengaruhi oleh kecerdasan emosinya (EQ-nya). Paling tidak (sebagaimana pernah kita bahas dalam edisi Mandiri 13 tentang Manajemen Emosi) ada enam keterampilan yang perlu dimiliki oleh seorang pemimpin, sebelum dia dapat memimpin orang lain, yaitu:
Mengenali emosi diri
Keterampilan ini meliputi kemampuan kita untuk mengidentifikasi apa yang sesungguhnya kita rasakan. Setiap kali suatu emosi tertentu muncul dalam pikiran, kita harus dapat menangkap pesan apa yang ingin disampaikan. Ketidakmampuan untuk mengenali perasaan membuat kita berada dalam kekuasaan emosi kita, artinya kita kehilangan kendali atas perasaan kita yang pada gilirannya membuat kita kehilangan kendali atas diri dan hidup kita.
Mengelola emosi diri sendiri
Ada beberapa langkah dalam mengelola emosi diri sendiri, yaitu: pertama adalah menghargai emosi dan menyadari dukungannya kepada kita. Kedua berusaha mengetahui pesan yang disampaikan emosi, dan meyakini bahwa kita pernah berhasil menangani emosi ini sebelumnya. Ketiga adalah dengan bergembira kita mengambil tindakan untuk menanganinya. Kemampuan kita mengelola emosi adalah bentuk pengendalian diri (self controlled) yang paling penting dalam manajemen diri, karena kitalah sesungguhnya yang mengendalikan emosi atau perasaan kita, bukan sebaliknya.
Memotivasi diri sendiri
Menata emosi sebagai alat untuk mencapai tujuan merupakan hal yang sangat penting dalam kaitan untuk memberi perhatian, untuk memotivasi diri sendiri (achievement motivation). Kendali diri emosional - menahan diri terhadap kepuasan dan mengendalikan dorongan hati - adalah landasan keberhasilan dalam berbagai bidang. Keterampilan memotivasi diri memungkinkan terwujudnya kinerja yang tinggi dalam segala bidang. Orang-orang yang memiliki keterampilan ini cenderung jauh lebih produktif dan efektif dalam hal apa pun yang mereka kerjakan.
Mengenali emosi orang lain
Mengenali emosi orang lain berarti kita memiliki empati terhadap apa yang dirasakan orang lain. Penguasaan keterampilan ini membuat kita lebih efektif dalam berkomunikasi dengan orang lain. Inilah yang disebut Covey sebagai komunikasi empatik. Berusaha mengerti terlebih dahulu sebelum dimengerti. Keterampilan ini merupakan dasar dalam berhubungan dengan manusia secara efektif.
Mengelola emosi orang lain
Jika keterampilan mengenali emosi orang lain merupakan dasar dalam berhubungan antarpribadi, maka keterampilan mengelola emosi orang lain merupakan pilar dalam membina hubungan dengan orang lain. Manusia adalah makhluk emosional. Semua hubungan sebagian besar dibangun atas dasar emosi yang muncul dari interaksi antarmanusia. Keterampilan mengelola emosi orang lain merupakan kemampuan yang dahsyat jika kita dapat mengoptimalkannya. Sehingga kita mampu membangun hubungan antarpribadi yang kokoh dan berkelanjutan. Dalam dunia industri hubungan antarkorporasi atau organisasi sebenarnya dibangun atas hubungan antarindividu. Semakin tinggi kemampuan individu dalam organisasi untuk mengelola emosi orang lain (baca: membina hubungan yang efektif dengan pihak lain) semakin tinggi kinerja organisasi itu secara keseluruhan.
Memotivasi orang lain
Keterampilan memotivasi orang lain adalah kelanjutan dari keterampilan mengenali dan mengelola emosi orang lain. Keterampilan ini adalah bentuk lain dari kemampuan kepemimpinan, yaitu kemampuan menginspirasi, mempengaruhi dan memotivasi orang lain untuk mencapai tujuan bersama. Hal ini erat kaitannya dengan kemampuan membangun kerja sama tim yang tangguh dan handal.
3 Jenis Motivasi
Jadi memotivasi orang lain, bukan sekadar mendorong atau bahkan memerintahkan seseorang melakukan sesuatu, melainkan sebuah seni yang melibatkan berbagai kemampuan dalam mengenali dan mengelola emosi diri sendiri dan orang lain. Paling tidak kita harus tahu bahwa seseorang melakukan sesuatu karena didorong oleh motivasinya. Ada tiga jenis atau tingkatan motivasi seseorang, yaitu: pertama, motivasi yang didasarkan atas ketakutan (fear motivation). Dia melakukan sesuatu karena takut jika tidak maka sesuatu yang buruk akan terjadi, misalnya orang patuh pada bos karena takut dipecat, orang membeli polis asuransi karena takut jika terjadi apa-apa dengannya, anak-istrinya akan menderita.
Motivasi kedua adalah karena ingin mencapai sesuatu (achievement motivation). Motivasi ini jauh lebih baik dari motivasi yang pertama, karena sudah ada tujuan di dalamnya. Seseorang mau melakukan sesuatu karena dia ingin mencapai suatu sasaran atau prestasi tertentu.
Sedangkan motivasi yang ketiga adalah motivasi yang didorong oleh kekuatan dari dalam (inner motivation), yaitu karena didasarkan oleh misi atau tujuan hidupnya. Seseorang yang telah menemukan misi hidupnya bekerja berdasarkan nilai (values) yang diyakininya. Nilai-nilai itu bisa berupa rasa kasih (love) pada sesama atau ingin memiliki makna dalam menjalani hidupnya. Orang yang memiliki motivasi seperti ini biasanya memiliki visi yang jauh ke depan. Baginya bekerja bukan sekadar untuk memperoleh sesuatu (uang, harga diri, kebanggaan, prestasi) tetapi adalah proses belajar dan proses yang harus dilaluinya untuk mencapai misi hidupnya.
Dalam buku The One Minute Manager, kedua penulis (Kenneth Blanchard dan Spencer Johnson) merangkum topik bahasan kita mengenai motivasi ini dalam sebuah ilustrasi yang amat menarik mengenai Manajer Satu Menit. Untuk menjadi manajer yang efektif dan dapat memotivasi anak buah untuk mencapai sasaran perusahaan, maka ada tiga hal yang harus dilakukan.
Pertama adalah membangkitkan inner motivation dari orang yang dipimpinnya dengan menetapkan berbagi misi atau sasaran yang akan dicapai. Kita sebagai pemimpin perlu berbagi dengan tim kita untuk secara bersama melihat visi secara jelas dan mengapa kita melakukannya. Motivasi yang benar akan tumbuh dengan sendirinya ketika seseorang telah dapat melihat visi yang jauh lebih besar dari sekadar pencapaian target. Sehingga setiap orang dalam organisasi kita dapat bekerja dengan lebih efektif karena didorong oleh motivasi dari dalam dirinya.
Hal kedua dan ketiga yang perlu dilakukan oleh seorang manajer efektif adalah memberikan pujian yang tulus dan teguran yang tepat.
Kita dapat membuat orang lain melakukan sesuatu secara efektif dengan cara memberikan pujian, dorongan dan kata-kata atau gesture yang positif. Bahkan dalam bukunya yang melegenda, Dale Carnegie (How to Win Friends and Influence People) menempatkan ini sebagai prisip pertama dan kedua dalam menangani manusia, yaitu: (1) jangan mengkritik, mencerca atau mengeluh, dan (2) berikan penghargaan yang jujur dan tulus. Manusia pada prinsipnya tidak senang dikritik, dicemooh atau dicerca, tetapi sangat haus akan pujian dan apresiasi. Tetapi kritik atau teguran yang tepat seringkali justru diperlukan untuk membangun tim kerja yang kokoh dan handal. Yang penting dalam menegur orang lain adalah bukan pada apa yang kita sampaikan tetapi cara menyampaikannya. Teguran yang tepat justru dapat menjadi motivasi dan menimbulkan reaksi yang positif.
Penelitian yang dilakukan dalam lima puluh tahun terakhir menunjukkan bahwa motivasi kerja tidak semata didasarkan pada nilai uang yang diperoleh (monetary value). Ketika kebutuhan dasar (to live) seseorang terpenuhi, maka dia akan membutuhkan hal-hal yang memuaskan jiwanya (to love) seperti kepuasan kerja, penghargaan, respek, suasana kerja , dan hal-hal yang memuaskan hasratnya untuk berkembang (to learn), yaitu kesempatan untuk belajar dan mengembangkan dirinya. Sehingga akhirnya orang bekerja atau melakukan sesuatu karena nilai, ingin memiliki hidup yang bermakna dan dapat mewariskan sesuatu kepada yang dicintainya (to leave a legacy). (sinarharapan.co.id)
{ 0 komentar... read them below or add one }
Post a Comment